July 24, 2014

Balada Persahabatan



Pagi. Di saat semua anak yang berstatus pelajar bersiap diri melangkah ke luar rumah, mencari secercah harapan melalui ilmu, di sebuah pemberhentian angkutan umum berdirilah dua siswa laki-laki berseragam putih biru.
 “Kamu udah ngerjain PR Seni Budaya gak?” tanya Dimas, salah seorang dari mereka yang bertubuh lebih kecil. 
“Hah, ada PR ya? Aku kok gak tahu ya,” Yoni, bertubuh jangkung dan kurus, menjawab dengan inosen.
“Kamu itu PR mana sih yang gak lupa,” timpal Dimas sambil geleng-geleng kepala. 
“Emangnya kamu sudah?”
“He.. belum juga sich. Makanya itu aku tanya kamu,” Dimas nyengir.
“Huuu..”

Tiba-tiba datanglah satu siswa lagi. Wildan. Bertubuh lebih mungil dari Dimas.
“Wah ini dia, teman kita yang bakal bayarin ongkos angkot kita hari ini,” sambut Yoni merangkul bahu Wildan.
Wildan menangkis rangkulan Yoni, ”Sembarangan, Bro. Ini lagi bokek juga.” Ia membetulkan posisi topinya. Wildan identik memakai topi. Ia terobsesi memanjangkan rambut. Tapi apa daya, peraturan sekolah melarang memanjangkan rambut bagi siswa laki-laki.
“Wil, kamu udah ngerjain PR belum?” tanya Dimas.
“Hah, PR? PR apa, Bro?”
Dimas tepok jidat, “Sama saja.”
“Ya udah, kita buruan berangkat biar bisa nyalin punya temen-temen yang udah ngerjain,” ajak Yoni. Mereka pun menaiki angkot yang berhenti di sana.

***

Di sekolah, mereka bertiga berlarian menuju kelas. Sesampainya di kelas terlihat tiga siswa laki-laki tengah duduk berdekatan.
“Eh kalian udah pada ngerjakan PR Seni Budaya gak?” Yoni menyerobot saja salah satu buku yang ada di meja dekat Daniar, Farel dan Yudha.
“Gak ngejain PR ya? Yang namanya PR itu dikerjain di rumah,” Farel dengan gaya yang dibuat-buat menasehatinya.
“Wah, lumayan banyak juga nih,” Yoni membolak-balik isi buku tadi lalu melihat ke arah jam. “Bisa-bisa gak nutut nih kalo nyalin.”
“Ya udah buruan dikerjain,” seru Yudha.
Dimas dan Wildan segera mengeluarkan buku mereka dari tas dan mulai menyalin.
“Ah, aku ada ide. Aku pinjem sebentar ya.” Yoni main ngacir saja, membawa buku yang dipegangnya tadi.
“Eh mau dibawa kemana bukuku?” seru Farel.

Melihat Dimas dan Wildan tengah menyalin jawaban milik Daniar dan Yudha, Daniar pun berkata, “Nanti kalo ketahuan gimana. Kan jawaban kalian sama persis kayak punya kami?”
“Ya kita jawab saja ‘Kebetulan, Bu’,” jawab Wildan enteng.
“Masa’ kebetulan bisa sama persis?”
“Iya juga ya..” Semuanya berpikir.
“Duh..mana bukuku dibawa Yoni lagi. Bentar lagi kan masuk,” gelisah Farel.

Tiba-tiba Yoni masuk kelas kembali sambil membawa beberapa lembar kertas.
“Nah, kalo gini kan beres. Udah kamu-kamu gak usah capek-capek nulis. Udah aku fotokopikan nih,” ucap Yoni kepada Dimas dan Wildan.
“Lho bukannya tambah ketahuan ya nanti kalo kalian nyontek,” kata Daniar.
“Ya kita jawab aja ‘Kita belajarnya bersama, ngerjakannya bersama, tapi hasilnya satu’,” jelas Yoni.
“Berarti kita bohong dong. Bohong itu kan dosa. Dosa itu kan masuk neraka,” ucap Farel dengan diplomatis yang dibuat-buat.
“Iya juga ya..” jawab semuanya.
“Terus gimana donk?” tanya Yoni.
“Udah lebih baik kita ngaku aja kalo lupa ngerjakan PR,” jawab Dimas.
“Iya ngaku aja..”jawab Daniar, Yudha dan Farel bersamaan.
“Iya benar kita ngaku aja. Itu Lebih baik.” Wildan menegaskan.
Akhirnya, Yoni pun menyimpulkan, “Benar. Lebih baik gak naik kelas daripada masuk neraka."
Semuanya tertawa.


~Wenny Pangestuti~