Pagi. Di saat semua anak yang
berstatus pelajar bersiap diri melangkah ke luar rumah, mencari secercah
harapan melalui ilmu, di sebuah pemberhentian angkutan umum berdirilah dua
siswa laki-laki berseragam putih biru.
“Kamu udah ngerjain PR Seni
Budaya gak?” tanya Dimas, salah seorang dari mereka yang bertubuh lebih kecil.
“Hah, ada PR ya? Aku kok gak
tahu ya,” Yoni, bertubuh jangkung dan kurus, menjawab dengan inosen.
“Kamu itu PR mana sih yang gak
lupa,” timpal Dimas sambil geleng-geleng kepala.
“Emangnya kamu sudah?”
“He.. belum juga sich. Makanya
itu aku tanya kamu,” Dimas nyengir.
“Huuu..”
Tiba-tiba datanglah satu siswa
lagi. Wildan. Bertubuh lebih mungil dari Dimas.
“Wah ini dia, teman kita yang
bakal bayarin ongkos angkot kita hari ini,” sambut Yoni merangkul bahu Wildan.
Wildan menangkis rangkulan
Yoni, ”Sembarangan, Bro. Ini lagi bokek juga.” Ia membetulkan posisi topinya.
Wildan identik memakai topi. Ia terobsesi memanjangkan rambut. Tapi apa daya,
peraturan sekolah melarang memanjangkan rambut bagi siswa laki-laki.
“Wil, kamu udah ngerjain PR
belum?” tanya Dimas.
“Hah, PR? PR apa, Bro?”
Dimas tepok jidat, “Sama saja.”
“Ya udah, kita buruan berangkat
biar bisa nyalin punya temen-temen yang udah ngerjain,” ajak Yoni. Mereka pun
menaiki angkot yang berhenti di sana.
***
Di sekolah, mereka bertiga
berlarian menuju kelas. Sesampainya di kelas terlihat tiga siswa laki-laki
tengah duduk berdekatan.
“Eh kalian udah pada ngerjakan
PR Seni Budaya gak?” Yoni menyerobot saja salah satu buku yang ada di meja
dekat Daniar, Farel dan Yudha.
“Gak ngejain PR ya? Yang
namanya PR itu dikerjain di rumah,” Farel dengan gaya yang dibuat-buat
menasehatinya.
“Wah, lumayan banyak juga nih,”
Yoni membolak-balik isi buku tadi lalu melihat ke arah jam. “Bisa-bisa gak
nutut nih kalo nyalin.”
“Ya udah buruan dikerjain,”
seru Yudha.
Dimas dan Wildan segera
mengeluarkan buku mereka dari tas dan mulai menyalin.
“Ah, aku ada ide. Aku pinjem
sebentar ya.” Yoni main ngacir saja, membawa buku yang dipegangnya tadi.
“Eh mau dibawa kemana bukuku?”
seru Farel.
Melihat Dimas dan Wildan tengah
menyalin jawaban milik Daniar dan Yudha, Daniar pun berkata, “Nanti kalo
ketahuan gimana. Kan jawaban kalian sama persis kayak punya kami?”
“Ya kita jawab saja ‘Kebetulan,
Bu’,” jawab Wildan enteng.
“Masa’ kebetulan bisa sama
persis?”
“Iya juga ya..” Semuanya
berpikir.
“Duh..mana bukuku dibawa Yoni
lagi. Bentar lagi kan masuk,” gelisah Farel.
Tiba-tiba Yoni masuk kelas
kembali sambil membawa beberapa lembar kertas.
“Nah, kalo gini kan beres. Udah
kamu-kamu gak usah capek-capek nulis. Udah aku fotokopikan nih,” ucap Yoni
kepada Dimas dan Wildan.
“Lho bukannya tambah ketahuan
ya nanti kalo kalian nyontek,” kata Daniar.
“Ya kita jawab aja ‘Kita
belajarnya bersama, ngerjakannya bersama, tapi hasilnya satu’,” jelas Yoni.
“Berarti kita bohong dong.
Bohong itu kan dosa. Dosa itu kan masuk neraka,” ucap Farel dengan diplomatis
yang dibuat-buat.
“Iya juga ya..” jawab semuanya.
“Terus gimana donk?” tanya
Yoni.
“Udah lebih baik kita ngaku aja
kalo lupa ngerjakan PR,” jawab Dimas.
“Iya ngaku aja..”jawab Daniar,
Yudha dan Farel bersamaan.
“Iya benar kita ngaku aja. Itu
Lebih baik.” Wildan menegaskan.
Akhirnya, Yoni pun
menyimpulkan, “Benar. Lebih baik gak naik kelas daripada masuk neraka."
Semuanya tertawa.
Semuanya tertawa.
~Wenny
Pangestuti~